Sabtu, 21 Januari 2012

Jibu-Jibu Sebagai Kearifan Lokal Dan Modal Sosial

an Jibu-Jibu Sebagai Kearifan Lokal Dan Modal Sosial

WAHANA PENANGKAPAN DI MALUKU

Wahana Penangkapan Di Maluku

Jumat, 20 Januari 2012

PENGARUSTAMAAN JIBU-JIBU SEBAGAI KEARIFAN LOKAL DAN MODAL SOSIAL


LOMBA KARYA TULIS BIDANG KEMARITIMAN (LKTK)


PENGARUSTAMAAN JIBU-JIBU
SEBAGAI KEARIFAN LOKAL DAN MODAL SOSIAL

Diusulkan Oleh :
Ketua Kelompok
Yusran Ahmad (2008 – 68 – 023)

Anggota Kelompok :
Joan Mark Labetubun (2008 – 68 – 001)
Junet Reawaruw (2008 – 68 – 002)
Nurul Huda Fitria Usemahu (2008 – 68 – 009)

UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2011

I.    PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Komunitas nelayan memiliki identitas kebudayaan yang khas setelah dibangun melalui suatu proses yang panjang dan mencapai puncak kematangannya. Ciri kebudayaan yang tercermin melalui pola  perilaku pengelolaan  dan pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh masyarakat pesisir, bermula dimpartasi dari ide atau gagasan sederhana. Kemudian diaktualisasikan dalam ruang dan waktu yang cukup serta teruji, menghasilkan suatu sisitim atau mekanisme  pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang unik dan strategis dalam pembangunan komunitas pesisir khususnya dan pembangunan wilayah kepulauan umumnya.
Dijumpai, pada sejumlah komunitas pesisir, perempuan mempunyai kemampuan mengkombinasikan fungsi subsisten dengan tanggungjawab mengurusi dan membesarkan anak. Dalam kegiatan penangkapan ikan, terutama di laut dalam, perempuan tidak terlibat langsung dalam memfungsikan sarana dan alat tangkap atau pengambilan dan pengumpulan ikan, seperti halnya laki-laki. Peran perempuan dibatasi pada kegiatan-kegiatan di tepi pantai (termasuk penangkapan ikan dan kerang pada air dangkal, budidaya tanaman air, serta pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan dan budidaya). Aktivitas tersebut tidak akan mengesampingkan, mengurangi atau bahkan meniadakan peran medampingi suami dan pemeliharaan anak.
Terkait dengan penghasilan yang diperoleh antara laki-laki dan perempuan, jika laki-laki bekerja sebagai buruh atau anak buah kapal (ABK) penangkap ikan dalam perikanan berskala kecil, maka pendapatannya sangat tergantung pada sisitem bagi hasil. Besarnya pendapatan ditentukan oleh jumlah ikan yang diperoleh.  Perikanan “berskala kecil”, umumnya terbatas dari segi modal, metode, dan mekanisasi. Akibatnya, penanganan, distribusi dan penjualan hasil tangkapan sangat bergantung pada tenaga manusia. Sumberdaya manusia yang selalu tersedia, selain laki-laki yang aktivitasnya tersita pada kapal penangkap ikan, adalah kaum perempuan. Mereka merupakan lapisan terdekat dari keluarga (rumahtangga) penangkap ikan atau bagian komunitas di mana penangkap ikan hidup dan berdomisili. 
Jerih payah penangkapan di laut dalam belum memiliki nilai, jika kaum perempuan tidak berkemampuan menangani dan mengolah hasil tangkapan, berupa ikan dan biota laut lainnya. Pada perikanan “bersakala kecil” atau “perikanan kampung” karena terbatas dari segi modal yang berimplikasi terhadap penggunan teknologi (mekanisasi, metode penangkapan, penanganan hasil, serta kemampuan membiayai tenaga kerja), nilai hasil tangkapan sangat ditentukan oleh peran kaum perempuan.
Menurut Polnac dalam Cernea (1988), pembagian kerja menurut jenis kelamin sering terbukti dalam sisitem distribusi dan pemasaran. Ikan merupakan produk yang sangat mudah rusak, tidak mudah disimpan tanpa teknik-teknik canggih untuk pengeringan atau pembekuan, atau pengeluaran yang besar untuk peralatan dan tenaga kerja. Distribusi surplus hasil tangkapan biasanya dilakukan oleh perantara atau pedagang ikan yang mempunyai waktu dan sumberdaya dalam mengelola dan mendistribusikan produk yang sangat mudah rusak tersebut.
Polnac dan Cernea juga mengatakan, bahwa pada banyak masyarakat penangkap ikan, wanita mengambil alih fungsi membeli dan menjual ikan. Pembagian kerja ini sedikitnya dapat membantu menyimpan sedikit keuntungan, kelurga: pria menangkap ikan dan anggota keluarga yang wanita menjual produk. Peranan wanita sebagai penjual dan pedagang ikan menstabilkan ekonomi pada beberapa masyarakat penangkap ikan, karena pria hanya kadang-kadang menangkap ikan tetapi wanita bekerja sepanjang tahun.
Masyarakat Maluku memiliki suatu bentuk kearifan yang sudah seharusnya menjadi identitas budaya, dimana kaum perempuan  pada sejumlah wilayah pesisir mengambil alih fungsi membeli dan menjual ikan dengan perilaku yang unik dan disebut“jibu-jibu”. Keunikan dimaksud  berupa suatu bentuk konstruksi sosial, yakni pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang berbasis komunitas, yang lahir melalui proses panjang, mengental dan mengakar, serta memiliki nilai-nilai fundamental dalam pembangunan komunitas. 
Pada sisi lain, konsep ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya dan strategi pemerintah untuk membangun kesejahteran dengan lebih mengutamakan pemberdayaan masyarakat. Ekonomi kerakyatan, menghendaki ekonomi tradisioanal dijadikan basis kehidupan masyarakat local, yang mana ekonomi kerakyatan dikembangkan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan  masyarakat lokal dalam mengelola lingkungan sumberdaya yang tersedia di dalamnya secara turun temurun.
Situasi dan kondisi dimana pemerintah menggalakan pertumbuhan ekonomi melalui ekonomi kerakyatan, menjadi peluang bagi jibu-jibu menjadi sasaran pemberdayaan masyarakat. Sejauh mana identitas jibu-jibu dikenal dan dipahami dari perspektif  kearifan lokal dan modal sosial, hingga pada gilirannya kemudian diterima secara universal sebagai salah satu model pembangunan berbasis masyarakat, menarik untuk dicermati.
Tulisan ini bermaksud membangun pikiran mayoritas, guna mengarustamakan jibu-jibu sebagai kearifan lokal dan modal sosial, sehingga jibu-jibu sebagai ekonomi tradisional dapat dijadikan basis kehidupan komunitas lokal serta dapat diterima  sebagai model pembangunan ekonomi kerakyatan.  Bersamaan dengan itu, karya tulis ini diharapkan sebagai pencermatan empiris dan pengayaan sudut pandang terhadap perspektif jibu-jibu, yang pernah diungkap lewat studi dan publikasi ilmiah jauh sebelumnya, dengan judul: “Peranan Ekonomi Wanita Nelayan di Maluku” (Majalah Ilmu Sosial Indonesia Jilid XX. No 1 Tahun 1993). Studi dimaksud, dilakukan TIM PMB Lembaga Ilmu Pengeteahuan Indonesia  (LIPI) di Desa Sathean, Maluku Tenggara (1991-1992) Pulau Kei Kecil Maluku Tenggara dan Desa Hitu, Maluku Tengah (1992-1993).

2.      Masalah
1)      Bagaimana jibu-jibu dikonstruksikan dalam ruang dan waktu pada kehidupan komunitas pesisir
2)      Bagaimana perspektif jibu-jibu sebagai  kearifan lokal dan modal sosial
3)      Bagaimana peran sosial, budaya dan ekonomi jibu-jibu
4)      Bagaimana bentuk transaksi yang dilakukan jibu-jibu
5)      Mengapa pengarustamaan jibu-jibu

3.      Tujuan
1)      Mengetahui konstruksi jibu-jibu dalam ruang dan waktu pada kehidupan komunitas pesisir
2)      Mengenal perspektif jibu-jibu sebagai  kearifan lokal dan modal sosial
3)      Mengenal peran sosial, budaya dan ekonomi jibu-jibu
4)      Mengenal bentuk transaksi yang dilakukan jibu-jibu
5)      Mengetahui alasan pengarustamaan jibu-jibu

4.      Luaran
1)      Memperkenalkan dan memposisikan jibu-jibu kedalam deretan warisan budaya kehidupan masyarakat pesisir di Maluku khususnya dan Indonesia umumnya.
2)      Jibu-jibu sebagai kearifan lokal dan modal sosial, menjadi bagian integral dan strategis  dalam keberlangsungan proses pembangunan berbasis komunitas, terutama melalui pendekatan ekonomi kerakyatan.
3)      Masukan dan bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan-kebijakan pembangunan, agar secara rasional memiliki alasan keberpihakan pada progam-program pemberdayaan perempuan pesisir pada komunitas nelayan, termasuk menjadikan jibu-jibu sebagai wirausaha
4)      Suatu alternatif pemberdayaan perempuan pesisir dan pulau-pulau kecil menyikapi kebijakan pemerintah menjadikan Maluku lumbung ikan nasional.
5)      Kekayaan intelektual dan informasi ilmiah baru dalam pengembangan penelitian dan ilmu pada bidang sosial-ekonomi perikanan dan ilmu terkait seperti sosiologi dan antropologi masyarakat pesisir dan kepulauan

5.      Kegunaan
1)      Pemberdayaan dan pencerdasan sumberdaya manusia perguruan tinggi.
2)      Pengayaan informasi, jaringan dan pengembangan pergaulan antara sesama peneliti dan penulis karya ilmiah.
3)      Pengalaman ilmiah guna memotivasi dan menanamkan semangat serta kreativitas manusia akademis dalam pengembagan penelitian. 
4)      Memotivasi, kepedulian mahasiswa terhadap masalah-masalah sosial-budaya dan ekonomi komunitas setempat, terutama yang termarginalkan.

Pengertian Kebijakan Dan Perbedaan Kebijakan Dan Kebijaksanaan


TUGAS. 1
KEBIJAKAN PERATURAN PERIKANAN
(Pengertian Kebijakan Dan Perbedaan Kebijakan Dan Kebijaksanaan)





DISUSUN OLEH :
NURUL HUDA FITRIA USEMAHU
2008-68-009
AGROBISNIS





FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2011

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR              ………………………………………………………… 
I.                    PEMBAHASAN    ………………………………………………………… 1
1.      Pengertian Kebijakan   ………………………………………………..   1
2.      Perbedaan Kebijakan dan Kebijaksanaan ……………………………...           2
II.                 PENUTUP …………………………………………………………………  4
1.      Kesimpulan     ………………………………………………………..   4
III.               DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..   5











KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena telah menyelesaikan tugas Kebijakan dan peraturan Perikanan dengan membahas pengertian kebijakan dan perbedaan kebijakan dan kebijaksanaan.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini,tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan dan dorongan ibu selaku dosen pengajar, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi dapat teratasi.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya sebagai penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.


                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Ambon, 10 Oktober 2011

                                                                                                Penulis


I.                   PEMBAHASAN

1.            Pengertian Kebijakan
Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebujakan. Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to do or not to do). Definisi ini dibuatnya dengan menghubungkan pada beberapa definisi lain dari David Easton, Lasswell dan Kaplan, dan Carl Friedrich.
Easton menyebutkan kebijakan pemerintah sebagai “kekuasaan mengalokasi nilai-nilai untuk masyarakat secara keseluruhan.” Ini mengandung konotasi tentang kewenangan pemerintah yang meliputi keseluruhan kehidupan masyarakat. Tidak ada suatu organisasi lain yang wewenangnya dapat mencakup seluruh masyarakat kecuali pemerintah.
Lasswell dan Kaplan yang melihat kebijakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, menyebutkan kebijakan sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai dan praktek (a projected program of goals, values and practices).
Sementara Carl Friedrich mengatakan bahwa yang paling pokok bagi suatu kebijakan adalah adanya tujuan (goal ), sasaran (objektive) atau kehendak(purpose).
Sejalan dengan perkembangan studi yang makin maju, William Dunn mengaitkan pengertian kebijakan dengan analisis kebijakan yang merupakan sisi baru dari perkembangan ilmu sosial untuk pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu dia mendefinisikan analisis kebijakan sebagai”ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang relevan yang dipakai dalam memecahpersoalan dalam kehidupan sehari-hari. “Di sini dia melihat ilmu kebijakan sebgai perkembangan lebih lanjut dari ilmu-ilmu sosial yang sudah ada. Metodologi yang dipakai bersifat multidisiplin. Hal ini berhubungan dengan kondisi masyarakat yang bersifat kompleks dan tidak memungkinkan pemisahan satu aspek dengan aspek lain.

2.            Perbedaan Kebijakan dan Kebijaksanaan
Secara harifah ilmu kebijakan adalah terjemahan langsung dari kata policy science (Dror, 1968: 6-8 ). Beberapa penulis besar dalam ilmu ini, seperti William Dunn, Charles Jones, Lee Friedman, dan lain-lain, menggunakan istilah public policy dan public policy analysis dalam pengertian yang tidak berbeda. Istilah kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy memang biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Ini sejalan dengan pengertian public itu sendiri dalam bahasa Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat atau umum.
Dengan demikian perbedaan makna antara perkataan kebijaksanaan dan kebijakan tidak menjadi persoalan, selama kedua istilah itu diartikan sebagai keputusan pemerintah yang relatif bersifat umum dan ditujukan kepada masyarakat umum. Perbedaan kata kebijakan dengan kebijaksanaan berasal dari keinginan untuk membedakan istilah policy sebgai keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat, dengan istilah discretion, yang dapat diartikan “ilah” atau keputusan yang bersifat kasuistis untuk sesuatu hal pada suatu waktu tertentu. Keputusan yang bersifat kausitis (hubungan sebab akibat) sering terjadi dalam pergaulan. Seseorang minta “kebijaksanaan” seorang pejabat untuk memperlakukan secara “istimewa” atau secara “istimewa” tidak memperlakukan, ketentuan-ketentuan yang ada, yang biasanya justru ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah (public policy).
dalam bahasa Indonesia, kata “kebijaksanaan” atau “kebijakan” yang diterjemahkan dari kata policy tersebut mempunyai konotasi tersendiri. Kata tersebut mempunyai akar kata bijaksana atau bijak yang dapat disamakan dengan pengertian wisdom, yang berasal dari kata sifat wise dalam bahasa Inggris. Dengan pengertian ini sifat bijaksana dibedakan orang dari sekedar pintar (clever) atau cerdas (smart). Pintar bisa berarti ahli dalam satu bidang ilmu, sementara cerdas biasanya diartikan sebagai sifat seseorang yang dapat berpikir cepat atau dapat menemukan jawaban bagi suatu persoalan yang dihadapi secara cepat. Orang yang bijaksana mungkin tidak pakar dalam sesuatu bidang ilmu, namun memahami hampir semua aspek kehidupan (Buchari Zainun dan Said Zainal Abidin, 1988:7-10). Kalau orang yang cerdas dapat segera memberi jawaban yang tepat atas sesuatu pertanyaan, maka orang yang bijaksana mungkin pada waktu yang sama tidak mau memberikan jawaban, karena yang demikian itu mungkin dianggapnya lebih bijaksana. Jawaban yang bijaksana bukan sekedar dapat menjawab, tetapi juga menjawab dengan tepat waktu,tepat lingkungan dan tepat sasaran. Konotasi ini agaknya sangat relevan dengan kajian ilmu kebijakan, dan jawaban yang demikian itulah yang menjadi obyek studi dari ilmu ini.
















3.                  PENUTUP

1.            Kesimpulan

ü   kebijakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, juga sebagai program yang berkenaan dengan tujuan dan nilai yang kewenangannya dipegang oleh pemerintah yang meliputi keseluruhan kehidupan masyarakat.

ü   Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Perbedaan kata kebijakan dengan kebijaksanaan berasal dari keinginan untuk membedakan istilah policy sebgai keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat, perbedaan makna antara perkataan kebijaksanaan dan kebijakan tidak menjadi persoalan, selama kedua istilah itu diartikan sebagai keputusan pemerintah yang relatif bersifat umum dan ditujukan kepada masyarakat umum.













DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku Kebijakan Publik karangan Said Zainal Abidin, Edisi Revisi, tahun 2004, Penerbit: Yayasan Pancur Siwah, Jakarta.